-

Font Size :

Language

Monday, January 5, 2009

cepen"penantian abadi"

Informasi Halaman :
Author : Yurika Febri Perdana ~ admin ebiSHARE_Blog's
Judul Artikel : cepen"penantian abadi"
URL : http://ebishare.blogspot.com/2009/01/cepenpenantian-abadi.html
Bila berniat mencopy-paste artikel ini, mohon sertakan link sumbernya. ...Selamat membaca.!



Karena di sini pembunuh lewat, menciumiku, duduk, dan menyilet nadi…” Perempuan tua ini selalu menjawab begitu, setiap kali aku bertanya kenapa dia di sini, di perempatan lampu merah yang sering sepi ini. Ini hari yang panas dan memandang wajahnya adalah matahari yang lain lagi di siang ini. Merah dan menyala, seakan bias matahari menyemburat dari wajah keriputnya.

“Apa anda sedang mengenangnya?”

“Ya, tentu. Ciumannya masih terasa, sarat salah dan tak tahu apa-apa. Yang dibunuhnya cuma memintanya menyilet nadi dan itu sekian puluh tahun yang lalu…”

Wajah perempuan tua ini sontak berubah, keras dan tajam. Seakan matanya hendak melumat aku berserta bumi, namun ada yang bergulir di pipinya.

“Tinjuku hancur pada bumi, tinjuku lunglai pada langit dan itu telah berpuluh tahun yang lalu.” Kaca-kaca di matanya bagai pecah menembusi jantungku.

Berpuluh tahun? Ataukah mungkin seratus tahun? Cuma duduk di sini dan mengenangnya? Setiap hari? Ataukah kau sedang menunggunya bidadari tua?

“Dia telah berjanji akan datang padaku selepas senja dan meminta aku untuk menjadi bagian dari hidupnya. Aku percaya itu.”

“Selepas senja yang mana?”

“Entahlah, makanya setiap saat aku harus ada di sini, setiap hari…”

“Bagaimana jika dia tak akan datang?”

“Dia pasti datang, dan menjadikan aku bagian dari dirinya. Dan aku tak mau berpikir kalau dia tak akan pernah datang.”

“Apa anda masih mengingatnya? Berpuluh tahun, itu sudah lama sekali.”

“Mungkin aku akan lupa berapa usiaku sekarang, tapi tidak tentang dia.”

“Dia seperti apa?”

“Dia seorang lelaki. Penuh luka di tubuhnya dan hatinya, juga di matanya.”

Lelaki yang dipenuhi luka, apakah dia seorang petarung? Atau semacam gladiator? Entah kenapa di tepian hatiku terselip sesuatu yang aneh, menyelinap diam-diam, seperti apakah menjadi laki-laki yang ditunggu oleh perempuan tua ini?

* * *

Entah dari kapan aku mulai menyadari aku dan perempuan tua itu telah menjadi dekat. Seperti sesuatu yang asing namun akrab. Seperti aku merasa ada yang hilang jika sehari saja aku tak bicara dengannya, atau menatap bola matanya, atau sekedar melempar senyum dan menyapa. Meski aku tak yakin kalau dia melihatnya, karena pandangan matanya hanya lekat pada ujung jalan. Atau jangan-jangan dia sama sekali tak mengenaliku? Entah kenapa aku merasa takut jika dia melupakan aku.

“Hari ini kau membawa aroma laki-laki itu.”

“Siapa?”

“Lelaki petarung itu.”

“Hari ini aku memang baru saja membunuh orang!”

“Kau?!”

“Ya, mereka selalu saja mengatai aku anak haram, hanya karena aku tak tahu silsilah keluargaku.”

Perempuan tua ini merapatkan selimutnya yang bertambal-tambal. Sesekali matanya berkilatan aneh. Sedang kerutan di wajahnya basah dijilati air mata. Aku rasa, tanpa aku sadari aku telah melukai hatinya, karena sekarang dia sedang menangis.

“Kenapa kau menjadi yang bukan dirimu?”

“Aku rasa itu sisi hitam yang tersimpan di sudut hatiku dan sesuatu menariknya keluar. Aku percaya tiap-tiap manusia memiliki sisi liar dalam dirinya dan ketika sisi liar yang hitam itu ditarik keluar, di saat itu pula manusia menjadi iblis sekaligus binatang.”

“Dan kau masih ingin melakukannya lagi?”

“Apa? Membunuh? Aku rasa tidak, karena sebentar lagi aku akan menyerahkan diri. Aku cuma ingin mengucapkan selamat tinggal kepadamu. Entah apakah kita masih bisa bertemu lagi, bicara seperti ini dan membiarkan debu-debu yang diterbangkan angin menampar wajah kita. Apakah kau akan merindukan aku?”

“Apakah itu berarti sekarang aku akan menunggu dua lelaki petarung?” bisiknya dengan bibir yang menggariskan senyuman tipis, hampir saja membentuk garis senyum yang sempurna. Rambut putihnya sesekali ia biarkan berkejaran dengan angin.

Dengan tiba-tiba, begitu saja, aku merasa angan-anganku bisa menjangkau berpuluh-puluh tahun ke belakang. Aku melihat seorang perempuan jelita berusia belasan tahun sedang memeluk tubuh bidang bersimbah darah, sedang di pergelangan tangan laki-laki itu darah yang lebih banyak lagi terus mengucur, seperti cucuran air mata perempuan jelita berusia belasan tahun itu. Dan aku bagai memijak dunia yang lain.

“Tunggulah, aku akan kembali dan memintamu untuk menjadi bagian dari hatiku dan hidupku. Selepas senja, aku akan datang, aku pasti datang…”

Dan lelaki dengan luka darah itu pergi, membiarkan punggungnya melambaikan kesedihan yang tak terkira, seperti sedih itu cuma untuk dirinya sendiri. Atau mungkin dia sedang membohongi dirinya sendiri. Sedang perempuan jelita berusia belasan tahun itu cuma menangis. Mungkin itu tangisan yang terperih seumur hidupnya. Dan aku kembali dilemparkan ke masa di mana aku sekarang.

“Kau tak keberatan, kan?”

“Menunggu dua lelaki petarung seperti kau dan dia? Kenapa tidak? Mungkin aku memang harus berbahagia dengan cara yang berbeda. Tapi…”

“Tapi apa?”

“Jika dia berjanji akan datang padaku dan menjadikan aku bagian dari hatinya dan hidupnya, kau akan menjadikan aku apa?”

“Aku akan menjadikanmu inspirasiku yang tak pernah habis.”

“Katakan lagi! Ulangi lagi!”

“Kau bisa percaya aku…”

* * *

Belasan tahun sudah. Tentu saja belasan tahun itu hari-hari penantianku di penjara. Di setiap detiknya aku cuma memimpikan dapat bertemu kembali dengan bidadari tua itu. Di penjara selama belasan tahun, aku rasa sebagian ingatanku telah hilang. Atau mungkin seluruhnya? Entahlah. Aku cuma berharap, ingatanku tentang perempuan tua itu tak akan pernah hilang. Paling tidak, aku tetap bisa mengingat bagaimana cara dia menggariskan satu senyuman tipis.

“Perempuan tua gila itu? Beberapa tahun belakangan ini dia sudah tidak lagi di perempatan jalan lampu merah itu.”

“Lantas di mana?”

“Di taman kota, di bawah pohon besar yang daun-daunnya selalu berguguran setiap kali perempuan tua itu bersedih.”

Ketika aku sampai di sana sengaja aku putuskan untuk tidak langsung menemuinya. Aku masih memikirkan, apa harus kukatakan semuanya? Bahwa laki-laki yang ditunggunya pernah menempati sel penjara yang aku tempati. Tapi cuma untuk beberapa saat karena luka yang dideritanya terlalu parah dan pada akhirnya merenggut nyawanya. Kau tidak sedang menunggu dua laki-laki petarung, Perempuan Tua. Kau cuma sedang menunggu aku yang akan menjadikanmu inspirasiku yang tak pernah habis. Dan aku melihatnya.

Di bawah pohon pucat, berselimut tebal bertambal-tambal, gadis seratus tahun duduk pandang lekat ujung jalan. Tiap angin meniup rambut putihnya, bibir keriputnya gariskan senyum tipis. Bau laki-laki itu belum sampai. Laki-laki yang ditunggunya berpuluh tahun, laki-laki beraroma petarungan. Dan pipi dimakan usia itu basah, dan cahaya matanya makin tajam. Dia tak hendak mati sebelum lengan kokoh itu meremukkan tulang-tulang rindunya. Gadis itu merapatkan selimutnya. Putaran angin ganjil, sarat teka-teki hari akhir. Di ujung jalan tak ada apa siapa, cuma angin dan pasir yang diterbangkannya. Gadis seratus tahun mungkin harus menunggu beratus-ratus tahun lagi, untuk laki-laki yang di hatinya hanya ada bertarung dan pertarungan.

Yogyakarta, 2004





Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di www.roomantik.com

Random

Powered by: Blogger

Internet

Form
buat Anda yang ingin memasang iklan disini. FREE... !!
(for you who want to advertise here. FREE ... !!)
  • Image Verification
    captcha
    Please enter the text from the image:
    [Refresh Image] [What's This?]

Powered byEMF Online Form
Report Abuse