-

Font Size :

Language

Monday, January 5, 2009

cinta pertamaku

Informasi Halaman :
Author : Yurika Febri Perdana ~ admin ebiSHARE_Blog's
Judul Artikel : cinta pertamaku
URL : http://ebishare.blogspot.com/2009/01/cinta-pertamaku.html
Bila berniat mencopy-paste artikel ini, mohon sertakan link sumbernya. ...Selamat membaca.!



Wuzz!! Angin dingin di bulan Juli bertiup menerpa wajah dan tubuhku. Kurapatkan jaketku. Huh! Dingin sekali. Kulihat beberapa saja orang lalu-lalang menggunakan baju hangat. Angin terus berhembus, dedaunan melayang layang jatuh ke tanah. Dahan dahan pohon yang tak berdaun bergerak bersenandung nyanyian merdu ranting yang terhempas oleh angin. Pemandangan yang tak asing lagi bagi warga kota dingin, Malang.

Alun-alun kota Malang tampak sepi dari biasanya. Taman kota yang terletak di jantung kota ini memang dibangun bukan sebagai tempat rekreasi. Terlihat dari arsitekturnya, sama sekali tidak ada tempat bermain untuk anak anak. Hanya terdapat tempat duduk permanen yang melingkari pohon besar.

Aku duduk di salah satu sudut taman. Air mancur kolam yang terletak tepat di tengah tengah taman mengalir dan bergemericik sayup-sayup terdengar. Kecipak ikan berebut makanan dari lemparan roti seorang anak kecil. Aku sungguh sangat menikmati indahnya suasana sore itu.

“Hei.”

Sebuah suara mengagetkanku yang sudah tak asing lagi ditelingaku. Namanya Jaya, teman sekampusku di Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang.

“Apa kabar?” tanyaku sambil sedikit bergeser memberikan tempat untuk dia duduk.

“Baik! Sedang apa di sini?” Jaya Balik bertanya.

Aku hanya menggelengkan kepala. Kulihat lelaki itu tersenyum lagi. Jay, begitu biasanya aku memanggil, adalah teman sekelasku di Program Magister Manajemen. Bersama pelajar beasiswa dari Indonesia Timur yang lain, kami sering belajar bersama, mengerjakan tugas kelompok dan tak luput pula jalan-jalan. Mungkin karena sama-sama orang rantau dengan latar belakang budaya yang tak begitu jauh berbeda. Bahasa kami hampir sama meskipun tak semuanya.

“Kebetulan tadi aku lewat sini dan melihat seorang gadis duduk melamun hanya memandang air mancur yang menurutku tak ada menariknya. Kupikir lebih baik kusapa saja gadis itu. Siapa tahu kehadiranku bisa membuatnya untuk tidak melamun lagi. Apa Tuan Putri butuh bantuan?”

Aku hanya tersenyum. Dia selalu bercanda. Kuakui dia pandai sekali menebak isi pikiranku kalau aku sedang ada masalah.

“Aku siap mendengar kalau kamu mau cerita. I’m a good listener. Paling tidak itu bisa meringankan sedikit bebanmu.”

“Kau ingat liburan semester lalu?” sahutku.

“Iya, kau pulang kampung ke Ambon. Memangnya ada apa?”

“Aku bertemu teman SMA-ku. Sekarang dia jadi pengusaha. Kebetulan tak sengaja kami bertemu ketika jalan-jalan. Sejak pertemuan itu kami sering pergi bersama. Tertawa, ngobrol kesana kemari seperti dulu saat kami masih SMA. Yang jelas hal yang indah indah ketika bersamanya.”

Jaya mendengarkanku dengan seksama. Mungkin baginya terdengar aneh karena tidak ada keganjilan dari ceritaku.

“Lantas, apa masalahmu?”

Aku terdiam. Belum sempat kujawab, Jaya sudah menyahut lagi.

“Oh… aku tahu. Dia bekas pacarmu?”

“Dia cinta pertamaku!” jawabku singkat.

“First love? So what’s wrong?”

Aku termenung sejenak. Dia bernama Sandy. Memang dia cinta pertamaku dan menurutku cinta inilah yang paling berkesan dalam hidupku. Dia masih seperti yang dulu, seperti saat masih berpacaran denganku. Masih tetap ganteng, gentleman, berpenampilan rapi dan yang pling kusuka dari dia adalah orangnya sangat romantis. Sejatinya kami tidak putus, hanya setelah lulus SMA tak ada lagi komunikasi di antara kita. Aku melanjutkan kuliah di Makassar sementara dia yang kutahu melanjutkan kuliah di Jakarta.

“Kok melamun?” Jaya membuyarkan lamunanku.

“Kemarin aku menerima SMS darinya kalau dia sudah beristri,” kataku pelan.

“Lantas?”

“Dia bilang masih cinta padaku. Apalagi setelah pertemuan yang tak sengaja di pantai itu. Aku sama sekali tak mengerti jalan pikirannya karena dia mengatakan akan bercerai dengan alasan sudah tidak ada kecocokan lagi,” jelasku.

“Maaf… sebentar… tadi kamu bilang bercerai? Apa mereka mau bercerai karenamu?” tanya Jaya dengan pandangan nanar.

“Bukan! Dari dulu memang ada permasalahan dengan perkawinan mereka. Sudah 7 tahun menikah tapi belum dikarunia anak. Itu karena istrinya tak mau diajak tinggal di Ambon. Istrinya seorang wanita karir di Jakarta dan sementara itu dia juga tak bisa mengikuti istrinya. Hanya sebulan sekali saja mereka bertemu.”

“Apa kamu masih mencintai dia?”

“Entahlah…”

Aku terdiam. Mungkin iya, aku masih mencintainya atau mungkin juga tidak seperti cinta yang kubayangkan. Tapi hatiku masih mengatakan kalau aku mencintainya. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Udara dingin yang berhembus seakan akan membekukan otakku.

“Mungkin aku bisa memberikan sedikit masukan,” kata Jaya kemudian.

“Iya, aku siap mendengarkan.”

“Jika mereka sudah bercerai dan kalian masih saling mencintai tak ada salahnya kau jalin kembali benang-benang asmaramu dengannya. Bahkan mungkin bisa ke jenjang pernikahan. Tapi kalau mereka masih bersama atau ternyata mereka berpisah karenamu, kupikir itu tak baik untukmu. Kurasa tak enak menjadi orang ketiga meskipun engkau sangat mencintai dia.”

Aku termenung beberapa jenak, mencerna kata katanya.

“Berapa umurmu sekarang?” tanya Jaya

“Tiga puluh,” sahutku lirih.

“Kupikir kau belum terlalu tua untuk tergesa-gesa dan sudah cukup matang untuk bisa berpikir rasional. Maaf, apa umur menikah di keluargamu dijadikan patokan?”

“Umur tak jadi soal, yang penting mentalnya siap apa tidak. Aku juga bukan orang yang terlalu pusing dengan masalah umur, tetapi ibuku sidah berapa ratus kali menanyakan soal pernikahan,” jelasku.

“Begini saja, kau diamkan dulu masalah ini. Dengarkan kata hatimu yang sesungguhnya sambil kau selidiki dulu temanmu itu. Kemudian pertimbangkan dengan matang, baru kau ambil keputusan. Oke?” seloroh Jaya.

Aku mendengarkannya dengan seksama. Benar memang, aku tak perlu memikirkannya terlalu dalam. Justru kalau kupikirkan terus menerus, rasa cintaku akan semakin tumbuh subur.

“Bagaimana? Lebih baik segera tinggalkan tempat ini sebelum kau kedinginan. Mau temani aku belanja ke supermarket? Kebetulan aku butuh sesuatu,” ajak Jaya.

Benar kata Jaya, aku harus memikirkannya baik baik. Kami beranjak dari alun alun taman kota. Angin dingin terus berhembus. Daun daun berserakan mengiringi langkah kami. Kulihat matahari sudah mulai masuk ke peraduannya. Tak ada lagi kehangatan. Tinggallah desauan angin yang berkawan akrab dengan sunyi.

*****

Sudah setahun lebih aku tinggal di kota Malang untuk melanjutkan studiku dengan beasiswa dari kampus Universitas Hassanudin tempat aku bekerja. Aku bersyukur dengan karunia yang sudah aku terima. Lulus S-1 kemudian diterima mengajar di kampus tempatku kuliah. Bahkan sekarang bisa meneruskan S-2 atas biaya kampus. Kesempatan baik ini tak kusia-siakan sekaligus membuka mataku untuk melihat kota-kota lain di Indonesia yang aku sendiri belum pernah mengunjunginya.

Pada dasarnya prinsipku adalah seperti air yang mengalir. Mengikuti kemana arus membawaku. Kesibukanku membuatku lupa akan kondisiku. Tanpa terasa umurku sudah masuk kepala tiga. Kata orang, masa-masa rawan. Aku tak peduli. Melalui hari demi hari, melaksanakan kewajiban, berbuat baik kepada orang tua dan sesama. Tapi aku masih punya Ibu yang sangat peduli.

“Apalagi yang kamu cari Fiya? Kau sudah punya pekerjaan bagus. Sudahlah… kau terima saja lamaran Deni. Kenapa mesti sekolah lagi?” kata Ibu setahun yang lalu ketika kuberitahu kalau aku lulus tes untuk mengambil Magister Manajemen di Universitas Brawijaya Malang.

“Ini kesempatanku, Bu. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Ini cita cita dan masa depanku. Apa Ibu tidak bangga padaku?”

“Tentu saja bangga. Tapi Ibu akan lebih senang jika kau terima dulu lamaran Deni, kemudian menikah sebelum berangkat. Dia juga setuju kau sekolah lagi.”

“Tapi aku tidak mengenal dan mencintai Deni, Ibu,” sahutku kesal. “Apa Ibu malu punya anak perempuan semata wayang jadi perawan tua?”

“Tidak… Ibu tidak malu. Tapi kewajiban Ibu menikahkanmu sebelum Ibu meninggal!”

Aku terdiam. Ibu tampak marah. Itulah perdebatan kami sebelum keberangkatanku. Akhirnya Ibu merestuiku juga setelah melihat kebulatan tekadku. Tapi aku berjanji tidak akan mengecewakannya.

Hari berganti hari, kukenal banyak lelaki. Tapi tak satu pun dari mereka yang menarik perhatianku. Sampai suatu saat aku mudik dan bertemu Sandy. Mungkin karena keterkaitan masa lalu atau mungkin kesepianku, aku merasa dia berbeda. Masih terbayang betapa bahagianya saat saat bersamanya. Suasana hati yang lama kurindukan tiba tiba menyergapku selama dua minggu.

Kini, kuhadapi kenyataan lain. Dia sudah beristri. Dia milik orang lain apapun yang ia katakan, aku harus memutuskan benarkah dia lelaki yang kuinginkan untuk mendampingiku selamanya?

Jam tanganku menujukkan pukul satu siang. Sudah setengah jam aku menunggu di ruang tunggu Bandara Juanda. Sandy akan datang hari ini. Aku jemput dia dengan perasaan galau. Sebagian hatiku gembira akan bertemu dengannya, sebagian lain ada keraguan.

Ketika pesawat yang dinaiki Sandy sudah mendarat, aku bergegas menuju pintu keluar penumpang. Satu persatu kuamati sampai akhirnya kutemukan Sandy dengan senyum mengembang.

Hello Honey… Apa kabar?” tanyanya sambil menjabat erat erat tanganku.

“Baik. Bagaimana perjalananmu?”

“Tidak menyenangkan. Itu karena aku sangat ingin sekali segera bertemu denganmu. Pesawat rasanya berjalan lambat. Aku rindu sekali padamu, Fiya.”

“Kenapa kau tiba tiba memutuskan berkunjung ke sini?”

“Sungguh, aku rindu senyummu, tawamu, semuanya. Lagi pula aku ingin jalan jalan ke kota Batu dan merasakan dinginnya bersamamu,” jawabnya santai kemudian berbisik mesra di telingaku. “Siapa tahu bisa menyejukkan hati kita berdua dan mendekatkannya kembali.”

Aku tersenyum dan menghindar dari rangkulannya. Entah kenapa tiba tiba saja aku risih dengan sikapnya.

“Eh… ngomong ngomong, bagaimana kabar istrimu?” tanyaku sambil menunggu taksi.

“Astrid? Oh… kenapa kau menanyakan dia?”

“Tak apa apa. Hanya ingin tahu saja.”

“Aku akan menceraikannya. Dua bulan lagi aku akan ke Jakarta untuk mengurus perceraian. Tapi itu bisa diatur. Aku punya teman seorang pengacara yang bisa aku andalkan. Astrid memang keras kepala. Kami tak bisa bersama lagi. Lalu untuk apa dipertahankan? Tapi dia bersikeras, bahkan menyusulku,” jelas Sandy panjang lebar.

“Dia menyusulmu?”

“Iya, kemarin dia datang ke Ambon dan memberiku uang 1 Milyar supaya aku membuka usahaku di Jakarta saja. Tadi pagi dia pulang ke Jakarta dan aku berangkat ke sini.”

“Kau terima uang itu?” tanyaku heran

“Kenapa tidak? Kita bisa bersenang senang dengan uang itu.”

“Terus kepindahanmu?”

“Siapa bilang aku pindah? Aku ke sana hanya untuk menceraikan dia.”

Aku terhenyak bagai tersengat listrik. Kepalaku tiba tiba terasa seperti ditimpuk batu besar. Tak salahkah yang aku dengar? Benarkah lelaku yang kukenal baik dan halus bahasanya itu mengatakan sesuatu yang menyakitkan? Lelaki yang selalu romantis itu bisa memperlakukan istrinya seburuk itu? Setidaknya Sandy harus menghargai perasaan Astrid, bukan malah memanfaatkannya.

Kupandangi lelaki yang duduk disebelahku dengan tak percaya. Tak ada lagi senyumnya yang menawan. Tak ada lagi wajah tampannya yang kurindukan. Tak ada lagi kelembutan. Yang tersisa hanyalah wajah yang mengerikan penuh kelicikan.

Tiba tiba aku sadar. Bukan dia yang kuinginkan untuk mengisi hidupku. Mungkin dia cinta pertamaku tapi bukan cinta pertama yang aku butuhkan.

Tak kuhiraukan protes Sandy ketika aku memintanya untuk kembali ke Ambon sekarang juga. Tak perlu ada jalan jalan, hadiah hadiah, dan harapan karena aku tak menginginkannya lagi. Masa lalu lebih baik kusimpan untuk pelajaran di masa yang akan datang.

Segera kutinggalkan bandara Juanda. Alang alang di kiri-kanan jalan melambai ditiup angin, kupandangi dengan tiada puasnya. Tak ada lagi yang perlu kutakutkan untuk masa depan. Akan selalu datang hari lain yang lebih indah.





Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di www.roomantik.com

Random

Powered by: Blogger

Internet

Form
buat Anda yang ingin memasang iklan disini. FREE... !!
(for you who want to advertise here. FREE ... !!)
  • Image Verification
    captcha
    Please enter the text from the image:
    [Refresh Image] [What's This?]

Powered byEMF Online Form
Report Abuse