-

Font Size :

Language

Monday, January 5, 2009

"tunggu dan saksikan aku ayah"

Informasi Halaman :
Author : Yurika Febri Perdana ~ admin ebiSHARE_Blog's
Judul Artikel : "tunggu dan saksikan aku ayah"
URL : http://ebishare.blogspot.com/2009/01/tunggu-dan-saksikan-aku-ayah.html
Bila berniat mencopy-paste artikel ini, mohon sertakan link sumbernya. ...Selamat membaca.!



Aku ingin jadi dokter ! Kuteriakkan mimpi itu sekencang-kencangnya dalam hati. Jadi dokter itu menyenangkan, bisa membantu banyak orang. Setiap guru sekolah menanyakan tentang cita-cita, pasti aku akan berteriak lantang, “Jadi dokter, Bu ! “

Aku tidak tahu kapan aku mulai bercita-cita menjadi dokter. Yang kutahu, aku sangat suka melihat warna putih rumah sakit, seprainya yang selalu baru tiap hari, susternya yang cantik, dan bau obat yang membuatku pusing tapi terasa nikmat. Jika ayahku mengajakku pergi ke rumah sakit tempat ia bekerja, aku tak kan bisa melepas senyum dari bibirku. Yang paling kusuka dari rumah sakit ayahku, adalah taman bunga di samping sungai jernih yang membelah sepertiga bagian dengan dua pertiga bagian yang lain.

Aku selalu ingat ayah berkata, “Kau harus punya impian.“

”Kenapa ? “ tanyaku.

Ayahku tersenyum dan balik bertanya, “Kau suka kejar-kejaran ?”

Dengan rasa bingung kujawab, “Suka sekali, Ayah!”

“Nah, mimpi itu harus ada untuk kau kejar,” terang Ayah.

Mimpi untuk dikejar? Apa harus begitu? Kenapa kejar-kejaran? Banyak pertanyaan menjejali pikiranku. Saat itu aku masih TK kecil, belum begitu mengerti nasihat ayah. Tapi sekarang aku sudah TK besar. Aku sudah mengerti, maksud Ayah aku harus bisa jadi dokter apapun yang terjadi, karena itu impianku. Kalau ada orang yang menghalang-halangi, maka orang itu akan kukejar sampai dapat. Pasti begitu maksud Ayah. Aku yakin! Apapun dan siapapun tak akan menghalangiku jadi dokter.

“Aku ingin jadi dokter!!” Aku berteriak kencang sekali di kebun belakang.

“Cica, kenapa teriak-teriak?” tanya Ibu dari dalam.

“Ibu mau ke mana?” Kulihat ibuku rapi sekali.

“Mau ke rumah sakit, imunisasi Adik.”

“Aku ikut!”

“Memang harus ikut, nanti kita ketemu Ayah di sana.”

“Asyik!!!” sorakku girang.

Ayahku di Rumah Sakit. Bukan sebagai dokter tapi sebagai peramu obat atau apo..tek..ker, ya! Apoteker! Jadi semua orang di rumah sakit tahu kenal dengan ayahku. Setidaknya meurutku.

**********

Cat rumah sakit putih bersih. Aku duduk di ruang tunggu bersama Ibu dan adikku. Di sana banyak anak kecil seumuran adikku. Mungkin mau imunisasi juga. Kulihat seorang dokter muda memasuki ruangan di sebelah ruang tunggu. Kubaca tulisan yang ditempelkan di pintunya, RUANG IMUNISASI. Hey! Sepertinya Ayah juga di dalam!

“ Ibu, Cica ketemu Ayah dulu, ya?”

“ Ya, kabarkan sekalian kalau Ibu sudah datang.”

“Siap!” teriakku seraya berlari.

“Ayah!” panggilku.

“Hey, kau sudah datang rupanya. Mana Ibu?”

“Duduk di ruang tunggu.”

Lalu akau dikenalkan sekilas dengan dokter muda teman Ayah. Tidak ada yang menarik perhatianku pada dokter itu kecuali stetoskop yang menggantung di lehernya. Setelah itu mereka berbincang-bincang lagi. Sepertinya membicarakan hal penting. Kutinggalkan mereka demi mengamati seluruh ruangan imunisasi. Wah, banyak obat yang keren dan suntikan yang berwarna-warni. Pasti untuk imunisasi. Imunisasi? Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa itu imunisasi.

Pandanganku beralih pada meja kerja di ujung ruangan. Sebuah kursi empuk bertengger di belakangnya. Sepertinya sangat empuk untuk diduduki. Aku berjalan mendekat. Kupandangi meja yang mengagumkan itu. Di atasnya ada setumpuk kertas-kertas yang disusun rapi, sebuah buku yang besar sekali, pulpen, dan segelas air putih. Perlahan kudekati kursi, kubayangkan aku duduk di sana, dengan senyuman ramah orang-orang mengadukan keluhan padaku, dan aku membantu menyelesaikannya. Ah……pasti menyenangkan sekali. Mataku bertumbuk pada sebuah suntikan di antara suntikan berwarna-warni. Suntikan itu terlihat lebih ramping daripada yang lainnya. Ia terlihat menawan tapi sedikit menakutkan dengan jarum yang tajam dan cairan bening di dalamnya.

Tiba-tiba ide cemerlang terbersit di pikiranku. Kalau mau jadi dokter, harus bisa pegang suntikan! Ya, harus! Senyumku menyeringai licik. Kuambil satu suntukan berisi cairan bening itu. Kupegang seperti memegang tongkat. Entah darimana ide gila ini datang. Gila? Bukan! Ini ide hebat, hebat sekali! Dadaku berdegup kencang, keringatku keluar malu-malu karena udara dingin. Aku seperti baru saja memulai petualangan menegangkan. Aku deg-degan! Seketika hatiku berteriak, Ayo!!! Sontak ku berlari ke arah ayahku yang sedang berdiri membelakangiku. Dekat… dekat …semakin dekat … dan……

“Uaoww!!!!” Ayah berteriak. Kutangkap roman kesakitan dan kaget setengah mati dari wajah ayahku.

Apa yang kulakukan? Aku berhasil, berhasil menyuntik Ayah. Lihat, suntikan itu masih menancap di pantat ayah! Tapi sayang, cairan putihnya tak mau masuk ke pantat ayah. Aku belum bisa caranya. Aku akan berlatih lagi. Tapi aku kasihan melihat Ayah, apa Ayah menderita?

“Apa yang kau lakukan?” bentak Ayah sambil mencabut suntikan itu. Beliau meringis kesakitan sambil mengelus pantatnya. Kulihat celana dinasnya yang putih ada setitik noda darah. Entah kapan datang, Ibu sudah berdiri di belakang Ayah.

Ayahku mengangkatku seperti menjinjing tas. Ibuku mengikuti di belakang bersama adikku. Sepintas masih kulihat Ayah mengelus-elus bekas suntikan yang kubuat. Pasti tak percaya kalau aku yang melakukannya. Ayah takjub kurasa. Ketika melewati koridor, orang-orang memandangku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Seperti tatapan Ibu saat aku jatuh dari sepeda. Apa yang mereka pikirkan? Kenapa memandangiku? Menurutku pikiran mereka berkata begini, “Wah…..hebat sekali anak kecil itu, pemberani, sudah bisa menyuntik pula.”

Ayah ibuku membawaku ke ruang kerja Ayah. Lalu aku dimarahi habis-habisan. Sepertinya aku membuat kesalahan. Ya, aku berbuat kesalahan tapi rasa berdebarku setelah berhasil menyuntik membuatku tak lagi memperhatikan kedaan sekelilingku. Ayah ibuku berteriak bersahut-sahutan sambil memelototiku. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Suara mereka seperti alunan Nasyid Raihan. Maksudnya, Ayah vokal utama dan Ibu backing vokal. Kucoba memahami yang mereka katakan, tapi yang terdengar hanya suara jantungku yang berdegup kencang.

Aku pasti berbuat salah, aku yakin! Tapi apa? Mungkin ayah marah karena cara menyuntikku yang salah, mereka malu. Namanya juga latihan. Tapi tak apa! Yang penting aku tetap bisa jadi dokter. Ayah tidak melarangku. Yang penting aku harus terus belajar dan berlatih. Aku harus jadi dokter! Aku tahu nanti Ayah akan membimbingku. Nanti kalau aku sudah bisa menyuntik dengan benar, Ayah pasti senang.

Tunggu aku Ayah, tunggu aku jadi dokter.





Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di www.roomantik.com

Random

Powered by: Blogger

Internet

Form
buat Anda yang ingin memasang iklan disini. FREE... !!
(for you who want to advertise here. FREE ... !!)
  • Image Verification
    captcha
    Please enter the text from the image:
    [Refresh Image] [What's This?]

Powered byEMF Online Form
Report Abuse