-

Font Size :

Language

Monday, January 5, 2009

munich

Informasi Halaman :
Author : Yurika Febri Perdana ~ admin ebiSHARE_Blog's
Judul Artikel : munich
URL : http://ebishare.blogspot.com/2009/01/munich.html
Bila berniat mencopy-paste artikel ini, mohon sertakan link sumbernya. ...Selamat membaca.!



Munich, Jerman, 1986. Beberapa hari terakhir ini aku merasa diperhatikan sesuatu, atau mungkin seseorang. Kalau mau jujur, sebenarnya dari pertama kali aku disini, satu bulan yang lalu, ketika aku baru saja tiba di bandara Frankfurt. Seseorang menubrukku, dan aku merasa itu bukan tubrukan biasa. Itu tubrukan yang disengaja.

“Munich?”

“Ya, anda?” Aku balik bertanya.

“Aku juga akan ke sana, mungkin kita bisa bersama?”

“Maaf, ada sesuatu yang harus aku selesaikan,“ kataku, mengingat aku telah berjanji pada sahabatku, Vei untuk menjenguknya di Stuttgart Hospital.

“Oh, sayang sekali. Aku Jonathan, dari Prancis selatan”

“Nice?”

“Hei, anda pernah ke sana?”

“Belum, tapi aku punya keinginan untuk pergi ke sana.”

“Oh…”

“Ok, aku sedang terburu-buru dan aku harus pergi. Sampai nanti.”

“Hei, namamu?”

“Ha?”

“Namamu? Boleh kan?”

“Natalie!”

Memang cuma seperti itu, tapi tetap saja aku merasa bahwa itu pertemuan yang disengaja. Jonathankah yang memperhatikanku? Dari mana dia mengetahui alamatku? Meski sebenarnya aku sama sekali tak merasa apa-apa. Hanya saja, semuanya mulai berubah. Hari-hari yang aku lalui seperti dikendalikan, seperti sesuatu sedang menuntun aku ke satu arah yang belum bisa kupahami. Munich, aku mulai merasa tak menyukai kota ini. Mungkinkah karena laki-laki dari Nice itu? Aku tak berani menebaknya.

* * *

“Kenapa…?” tanyaku ketika dia menghentikan cumbuannya.

“Seperti aku bisa merasakanmu, ketakutan-ketakutanmu, gelisah-gelisahmu dan kegamanganmu…”

Laki-laki yang baru aku temui dan tak begitu aku kenal ini, kenapa bisa merasakanku? Aku terbaca dengan baik olehnya. Bayang-bayangnya kurebahkan di permukaan mataku, kubenamkan diriku dalam bayang-bayangnya.

“Jonathan?”

“Ya?”

“Maukah kau memelukku lebih erat lagi? Aku kedinginan dan gelisah…”

“Tentu, mungkin aku tak bisa mengusir gelisah-gelisahmu, tapi jika ia datang aku akan selalu ada di dekatmu. Memelukmu seperti ini, Lie…”

Di saat-saat berdekatan dengan Jonathan seperti inipun, aku masih saja merasa ada yang memperhatikanku. Mengikuti dan menghantuiku. Selama ini aku merasa Jonathanlah yang telah melakukan semua teror ini. Setangkai bunga mawar disetiap pagi jam tujuh di depan pintu flatku. Email-email yang masuk ke komputerku disetiap jam sebelas malam, mengucapkan selamat tidur dan mimpi indah yang berlari. Atau ketika aku memesan minuman di beberapa kafe, di semua kafe, setiap kafe yang aku masuki selalu saja mengantarkan segelas Manhattan kemejaku meski aku tak memesannya atau belum memesannya.

“Saya cuma disuruh…” Semua pelayan kafe selalu menjawab begitu jika kutolak.

“Siapa ?” cecarku.

“Katanya, dia adalah malaikat tanpa sayap yang ingin bermain-main di dalam hatimu, juga pikiranmu…”

Dan ketika aku merasa tak nyaman lagi dengan semua ini, kuputuskan untuk mengundang Jonathan ke flatku ketika untuk kedua kalinya aku bertubrukan dengannya di Andernach saat aku sedang menikmati aliran sungai Rhein, dan aku masih merasa kalau itu adalah tubrukan yang disengaja.

“Natalie?”

“Eh, hai, Jonathan.”

Sampai disini, sampai aku berada dalam dekapannya dan aku masih merasa sesuatu itu masih menghantuiku, sedang memperhatikanku dengan sinis. Lantas kalau bukan Jonathan, siapa?! Jam sebelas malam, ada email masuk ke komputerku. Mungkin dari malaikat sayap buntung itu, makiku dalam hati.

“Boleh aku membacanya?” bisik Jonathan di telingaku sedang tangannya melingkari pinggangku.

“Mungkin kau tak akan menyukainya,” sahutku pelan.

“Apa aku punya alasan untuk itu?”

“Bacalah…” kataku sambil berdiri dari kursi dan membiarkan Jonathan duduk dan menarikku dalam pangkuannya.

“Tanpa nama?”

“Ya, seperti yang kau lihat.”

“Kenapa malam ini kau tak tidur tepat waktu? Aku telah menanti di dalam mimpimu, aku sendiri dan kesepian…”

“Masih ada email yang lain?” tanya Jonathan setelah selesai membaca.

“Ini, baca saja…” Kubuka beberapa email yang setiap malam ini mengusik pikiranku, sedang nafas Jonathan di belakang leherku terasa hangat.

“Waktunya tidur, aku sudah tak sabar lagi berada di dalam mimpimu yang melingkari kita…” Dan email yang lainnya lagi,

“Ini waktu yang kita janjikan, kau tak menyadarinya? Ini waktunya bermimpi, ini waktunya kita satu mimpi…” Yang lainnya lagi,

“Teruslah seperti ini, bermimpilah tepat waktu. Jangan biarkan aku menunggu terlalu lama untuk satu mimpi denganmu“ Dan lagi,

“Selamat tidur, ini cuma pengganti ciuman selamat malam, kau menikmatinya? Semoga begitu…”

“Hmm…” Jonathan menggumam.

“Bagaimana menurutmu?” selidikku.

“Cuma ulah orang gila yang melihat sosok yang dicintainya di dirimu, lupakan!”

“Semudah itu?”

“Apa kau merasa tak nyaman?”

“Sangat! Aku merasa sangat tak nyaman. Kau pikir dari mana dia tahu alamat emailku? Penginapanku? Minuman kesukaanku? Dan kebiasaan-kebiasaanku?!” Kuceritakan semua yang telah kualami pada Jonathan, hari-hariku serta perlakuan-perlakuan yang kudapatkan.

“Dan mungkin saat ini dia sedang melihat kita, atau memperhatikan kita dari tadi, kau tak menyadarinya?!” Suaraku meninggi, emosiku seperti dipermainkan.

“Bukankah itu bagus?” Bibir Jonathan menyelipkan satu senyum tipis.

“Heh!? Jangan katakan kau lebih bergairah saat ada yang melihatmu ketika sedang bercinta!”

“Bukan itu.”

“Lantas?”

“Kita pancing dia, dengan membakar hatinya atau menyulut api cemburu di dadanya. Kau tak keberatan, kan?”

“Entahlah.”

“Kau tak ingin mengetahui ke mana arah cumbuanku tadi yang sempat terhenti?” goda Jonathan sedang aku cuma membiarkan diriku terus hanyut dalam pangkuannya.

Memancing dia? Malaikat bersayap buntung itu? Tanpa alasan yang dibuat-buat inipun aku rasa aku tak kuasa untuk menghentikannya.

* * *

“Vei?!” pekikku tak percaya ketika melihat Vei berdiri di depan pintu flatku, pukul lima sore.

“Kejutan?” Suara nyaringnya menggema dengan wajah yang cerah. Vei masuk melewati tubuhku dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa.

“Bukankah kata dokter…”

“Leukimia-ku? Sudah sembuh dan aku sehat. Aku sedang bahagia, Lie.”

“Secepat itu? Bagaimana bisa?”

“Hei, kau tidak senang jika aku sembuh dan sehat?”

“Bukan, maksudku…”

“Aku sedang jatuh cinta, Lie. Ini sesuatu yang hebat, aku jatuh cinta pada seorang laki-laki. Kau dengar, Lie ? Seorang laki-laki.”

“Ha?!” Pekikku takjub.

Vei, sahabatku yang telah bertahun-tahun menjadi lesbian dan bisa kulihat dia menikmati hidupnya dalam menjalani hari-harinya sebagai seorang lesbian, jatuh cinta pada seorang laki-laki? Tentu saja ini sesuatu yang hebat.

“Katakan, Vei, bagaimana bisa?” tanyaku pada Vei seraya ingin duduk di hadapannya.

“Kau tak ingin mengambilkan segelas minuman untukku? Wine, mungkin…”

“Oh, ok…” Dengan cepat aku kebelakang, menuangkan segelas Wine untuk Vei dan Manhattan untukku. Aku benar-benar sudah tak sabar lagi ingin mendengarkan cerita Vei, entah kenapa aku merasa butuh penjelasan tentang suasana hatinya.

“Cepat, Vei. Ceritakan!” cecarku setelah Vei menenggak habis Wine-nya.

“Hei, aku sudah menduga reaksimu akan seperti ini.”

“Hmm…” gumamku mencoba bersabar.

Vei mengambil sesuatu dari dalam tasnya, rokok. Ternyata Vei belum menghentikan kebiasaan buruknya ini, dengan lambat dan nikmat dia hembuskan asapnya di antara aku dan dia. Perlahan namun pasti asap itu mulai membentuk wajah seseorang, seorang laki-laki.

“Aku juga tak mengerti, Lie. Entah dari kapan dia mulai memasuki hatiku, aku tak pernah menyadarinya dan aku sama sekali tak ingin menanyakannya pada diriku.”

“Di mana kalian bertemu?”

“Bukan bertemu, Lie. Aku rasa dia yang menemuiku di Stuttgart Hospital. Seperti dia mengetahui apa yang sedang kupikirkan, apa-apa yang kuimpikan dan segala hal yang kutakutkan. Seakan dia meniupkan nafas baru kewajahku, Lie.”

“Kau menerimanya begitu saja?”

“Tidak, kau tahu aku, Lie. Aku seorang lesbian, ingat itu!”

“Lantas, bagaimana bisa?”

“Aku tidak tahu, semuanya terjadi begitu saja. Seperti hatiku dibuka dan segala hal yang indah-indah masuk dan mengendap didalamnya dan aku merasa sayang kalau rasa itu terlepas apalagi hilang, Lie. Kau pernah merasakannya? Begitu menakjubkan!”

“Siapa laki-laki itu, Vei?” tanyaku penasaran.

“Kau mengenalnya, Lie. Dan mungkin juga kau mencintainya.”

“Maksudmu?” Aku mulai bingung dan merasa semuanya gelap.

“Aku mendengar dia menyebut namamu sesaat sebelum nafasnya terhenti, Lie.”

“Vei? Siapa?!” Aku mulai kalut.

“Nathan!”

“Nathan?”

“Ya, Nathan! Jonathan!” tegas Vei.

“Ha? Laki-laki dari Nice itu?!”

“Siapa lagi? Siapa lagi kalau bukan dia, Lie?!”

“Tapi, Vei.”

Tiba-tiba saja pintuku diketuk dan beberapa orang pria menerobos masuk. Pria berseragam. Polisi? Ada apa ini? Apa yang telah terjadi?

“Anda yang bernama Vei?” tanya polisi yang berkumis tipis padaku.

“Bukan, kenapa? Apa yang telah terjadi?” desakku.

“Aku!” desis Vei seraya berdiri, mematikan rokoknya yang kesekian dan menghabiskan sisa Wine-nya.

“Anda Vei Rusdock?” tanya polisi berkumis tipis itu lagi.

“Ya, saya Vei Rusdock.” Wajah Vei terlihat begitu tenang dan dingin.

“Anda ditahan karena telah membunuh Tuan Jonathan!”

“Hei?!” bentakku ingin mencoba mencegah, namun seorang polisi menahanku.

“Anda bisa datang ke kantor polisi dan mendengar semuanya di sana”

“Tapi, Vei?”

Dan aku tak pernah mendengar apa-apa. Bukan cara Vei membunuh Jonathan yang ingin aku ketahui, bukan pula tentang adanya bekas-bekas percintaan di tubuh dan kemaluan Jonathan. Polisi tak bisa menjelaskan tentang apa yang ingin aku ketahui, aku sangat ingin mengetahui motif dari pembunuhan ini dan polisi sama sekali tak mengetahuinya secara pasti. Leukimia yang diderita Vei telah akut dan hanya beberapa jam saja Vei dalam tahanan karena setelah itu Vei mati. Membawa segala rahasia yang ingin aku ketahui, menutup semua pintu-pintu misteri yang melingkari hidupku selama di Munich. Aku mulai merasa tak menyukai kota ini. Mungkinkah karena laki-laki dari Nice itu? Atau karena Vei Rusdock? Entahlah, aku tak berani menebaknya.

* * *

“Kenapa malam ini kau tak tidur tepat waktu? Aku telah menanti didalam mimpimu, aku sendiri dan kesepian…”

“Waktunya tidur, aku sudah tak sabar lagi berada di dalam mimpimu yang melingkari kita…”

“Ini waktu yang kita janjikan, kau tak menyadarinya? ini waktunya bermimpi, ini waktunya kita satu mimpi…”

“Teruslah seperti ini, bermimpilah tepat waktu. Jangan biarkan aku menunggu terlalu lama untuk satu mimpi denganmu.“

“Selamat tidur, ini cuma pengganti ciuman selamat malam, kau menikmatinya? Semoga begitu…”

* * *

Bandara Frankfurt, Jerman, 1996. Beberapa hari terakhir ini aku merasa diperhatikan sesuatu, atau mungkin seseorang. Meski peristiwa itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, pintu-pintu misteri yang melingkari aku, Vei Rusdock, dan Jonathan masih saja terkunci. Seseorang menubrukku, tubrukan yang disengaja.

“Munich?” Seorang pria menyapaku dengan logat Prancis yang kental.

“Tidak, kali ini Cologne…”





Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di www.roomantik.com

Random

Powered by: Blogger

Internet

Form
buat Anda yang ingin memasang iklan disini. FREE... !!
(for you who want to advertise here. FREE ... !!)
  • Image Verification
    captcha
    Please enter the text from the image:
    [Refresh Image] [What's This?]

Powered byEMF Online Form
Report Abuse